Amaterasu, Supreme Sun Goddess of Japan


Dalam sejarah Jepang dan kepercayaan Shinto, Amaterasu adalah dewi matahari yang memiliki peran sangat penting terhadap kehidupan. Dia juga dikenal dengan nama Amaterasu-Omikami atau Ohirume-no-Muchi-no-Kami. Namanya terdiri dari kata Amateru yang berarti "bersinar di surga". Konon, Kaisar Jepang adalah keturunan langsung dari Amaterasu.


Origins of Amaterasu
Kisah mengenai Amaterasu tercatat dalam sejarah kuno Jepang yaitu Kojiki dan Nihon Shoki. Dia terlahir dari Izanagi ketika sedang mencuci mata kirinya setelah pulang dari Yomi (Underworld). Amaterasu merupakan saudari dari Tsukuyomi dan Susanoo. Amaterasu merupakan Dewi Matahari yang sangat dipuja di Jepang.


Amaterasu dan Tsukuyomi
Amaterasu ditugaskan untuk menguasai bumi oleh ayahnya, Izanagi. Dia menjadi penguasa matahari dan surga bersama dengan saudaranya, Tsukuyomi yang menguasai bulan dan malam hari. Sebenarnya, dulu Amaterasu berbagi langit dengan Tsukuyomi. Namun ketika sebuah tragedi yang melibatkan Tsukuyomi terjadi kepada Uke Mochi (Dewi Makanan), Amaterasu menganggap Tsukuyomi jahat sehingga memisahkan malam dengan siang.


Pertengkaran dengan Susanoo
Hubungan antara Amaterasu dan Susanoo tidak selalu baik. Suatu ketika, karena kesal dengan tingkah Susanoo, Izanagi membuang Susanoo ke Yomi. Namun, karena dia masih memiliki beberapa urusan, dia pergi ke Takamagahara (Surga) untuk menemui Amaterasu. Amaterasu merasa curiga, namun Susanoo berkata bahwa dia hanya ingin mengucapkan salam perpisahan. Amaterasu tidak percaya dan meminta sebuah tantangan untuk menunjukkan kebaikan Susanoo.

Masing-masing dari mereka mengambil sebuah benda yang dimiliki dan berusaha menciptakan dewa atau dewi dari benda itu. Amaterasu menciptakan 3 wanita dari pedang Susanoo sedangkan 5 pria tercipta dari kalung Amaterasu. Keduanya merasa sebagai pemenang karena Susanoo menyatakan mampu menciptakan lebih banyak dari Amaterasu. Akan tetapi Amaterasu mengatakan bahwa barang tersebut miliknya. Kemudian Susanoo merasa kesal dan mengamuk. Dia mengancurkan persawahan Amaterasu dan melemparkan kuda poni (binatang yang dianggap sakral oleh Amaterasu) ke aula yang menewaskan pengawal Amaterasu. Amaterasu menjadi marah dan sedih. Dia bersembunyi di sebuah goa Ama-no-Iwato yang mengakibatkan matahari menghilang selama beberapa lama. Susanoo kemudian dibuang dari Surga.

Walaupun demikian, Amaterasu dibujuk untuk keluar dari goa oleh semua dewa, namun ditolak. Akhirnya, Dewi Keceriaan yang bernama Ame-no-Uzume membuat sebuah rencana. Dia meletakkan sebuah cermin perunggu besar dan meletakannya di sebuah pohon yang menghadap ke arah mulut goa. Kemudian Uzume berpakaian bunga dan dedaunan, membalikan sebuah ember cucian, menari di atasnya dan menabuh ember tersebut dengan kakinya. Akhirnya, Uzume melepaskan pakaiannya dan menari sambil telanjang. Semua dewa tertawa dengan keras dan membuat Amaterasu penasaran. Amaterasu akhirnya mengintip dari dalam dan sebuah cahaya (yang akhirnya dinamakan fajar), terpancar. Amaterasu melihat seorang dewi yang begitu cantik yang sebenarnya adalah pantulan dirinya di cermin. Dengan cepat, Dewa Ameno-Tajikarawo menarik Amaterasu dari dalam goa. Karena diliputi dengan keceriaan, Amaterasu berjanji untuk mengembalikan terang agar kegelapan hilang dari dunia. Uzume kemudian dikenal juga sebagai Dewi Fajar.

Sesudah itu, Amaterasu berdamai dan Susanoo menyerahkan pedang Kusanagi-no-Tsurugi sebagai hadiah penyesalan.



Imperial Regalia of Japan
Menurut legenda, Amaterasu mewariskan pusaka berupa cermin Yata-no-Kagami, kristal Yasakani-no-Magatama dan pedang Kusanagi-no-Tsurugi kepada Ninigi (salah satu keturunannya). Ketiga pusaka ini akhirnya menjadi Tanda Kebesaran Kekaisaran Jepang (Imperial Regalia of Japan).

Kuil Ise yang terletak di Honshu dibangun sebagai bentuk penghormatan untuk Amaterasu. Konon, cermin Yata-no-Kagami tersimpan di kuil tersebut. Bahkan sebuah upacara setiap 20 tahun sekali yang bernama Shinkinen Sengu diadakan untuk menghormati Amaterasu. Pakaian baru dan makanan dipersembahkan kepada Amaterasu sebagai praktek dari ajaran Shinto yang masih dibudayakan dari tahun 690.

Referensi:


Komentar